Minggu, 12 Oktober 2014

KEMANA ORANG SUNDA?

Pertanyaan di atas mungkin terasa aneh ketika di tanyakan, melihat begitu banyaknya penduduk yang mengaku suku sunda. Tetapi ketika pertanyaan itu di arahkan, seperti : " Kemana orang sunda yang ber-adat istiadat sunda dan mempunyai tata krama sunda?". atau " Dimana orang sunda dalam pembangunan negara indonesia?".


Nah, ketika pertanyaan tersebut di lontarkan barulah orang mulai bertanya kepada sebelahnya ataupun dirinya sendiri. Kemana/siapa orang sunda itu?

Budaya yang hilang...
     
     Budaya merupakan ciri suatu bangsa. Orang dapat membedakan suatu suku atau bangsa, yaitu dengan perbedaan budayanya. Budaya lah yang paling menonjol dari segi fisik untuk membedakan antar suku bangsa.

Dilihat dari aspek ragam budaya, indonesia memiliki banyak suku bangsa yang tiap - tiap suku bangsa mempunyai perbedaan budaya. Akan tetapi tiap - tiap budaya di indonesia, sama - sama mempunyai budaya ketimuran yang khas. Yaitu Tata-Krama dan sopan santun. hal inilah yang kerap menjadi penilaian bangsa luar terhadap bangsa indonesia.

Budaya yang berlaku ini, jauh terbentuk ketika awal mula datangnya penduduk yang kemudian menetap di kepulauan di indonesia. Untuk kemudian berkembang sistem kerajaan dengan pokok - pokok ajaran agama, baik dari mulai ketika hindu-budha, maupun ketika berkembangnya agama islam. Kesemuanya itu sama - sama mengajarkan kesejatian hidup dan pengabdian terhadap hyang tunggal. mengerjakan kebaikan - kebaikan terhadap sesama dan mengajarkannya kepada keturunan mereka.

Adapun di Tatar Sunda, menjalani alur sejarah ini dengan pokok - pokok ajaran agama yang kuat. Kerukunan dengan bersemboyankan " Silih-Asah, Silih-Asih, Silih-Asuh" tertanam kuat dalam kehidupan masyarakat sunda.

Untuk kemudian kehidupan berangsur angsur berubah, bergeser sedikit demi sedikit. Terkikis budaya luar yang jauh dari sistem ketatakramaan yang selalu ditanamkan pada tiap pribadi orang sunda. hal ini mungkin sudah tak asing lagi, mengingat serbuan budaya luar yang semakin gencar terhadap muda - mudi yang sebetulnya belum memahami betul ketertiban atau keteraturan atau keluhuran budaya yang diwariskan dari nenek moyang mereka. Budaya menurut mereka hanyalah kebiasaan - kebiasaan yang bersifat "KOLOT" yang tak cukup modern untuk mereka.

Padahal kalau kita bisa menjunjung budaya luhur nenek moyang dan bereksperimen terhadap budaya sendiri, toh budaya tersebut akan lebih modern. Dan kita pun akan bangga dengan kemodern-an budaya sendiri. Lalu ketika mereka menjadi orang yang berbudaya luar, masihkah pantas di sebut orang sunda?...

Dari segi kesenian, sebenarnya banyak juga kesenian - kesenian asli sunda. dan malah sunda ketika awal era pertelevisian, banyak di sorot kesenian - keseniannya. hal ini harusnya menjadi pemicu anak - anak muda sekarang yang gak mau melestarikan budaya/keseniannya sendiri.

Jadi, bukanlah orangnya yang tidak ada. Akan tetapi orang yang pegang teguh budaya yang telah jarang ditemui...

Sumber : http://sundanese4indonesia.blogspot.com/2011/04/kemana-orang-sunda.html

Sabtu, 11 Oktober 2014

TRADISI NGIKIS JELANG RAMADHAN YANG TERLUPAKAN

CIAMIS - Ratusan warga Karangkamulyan, Ciamis, Jawa Barat, dan sekitarnya berbondong-bondong mengikuti tradisi Ngikis. Ngikis merupakan tradisi yang diselenggarakan setiap Senin atau Kamis terakhir sebelum memasuki Ramadan.

Puncak acara Ngikis ditandai dengan pengecatan simbolis pagar di kawasan Pancalikan, Situs Budaya Ciungwanara atau dikenal Objek Wisata Karangkamulyan. Tradisi yang diceritakan ini sudah berlangusng sejak abad ke-17 itu, rutin digelar masyarakat, tokoh adat, pemerintah, dan pelaku pariwisata setempat.

Jika dibanding tahun sebelumnya, acara Ngikis tahun ini lebih ramai. Jumlah pengunjung yang datang lebih banyak, begitu juga jajaran pejabat, tokoh adat, kasepuhan, dan pelaku pariwisata.

Setelah dilakukan proses pengalungan rangkaian bunga kepada Bupati Ciamis, Iing Syam Arifien, dan Kadis Pariwisata Ciamis, Sobar Sugema, rombongan memasuki kawasan Situs Budaya Ciungwanara menuju Pangcalikan diikuti arak-arakan punggawa berpakaian lengkap mengenakan pakaian adat Sunda.

Warga yang mengikuti arak-arakan juga membawa nasi tumpeng dan perbekalan makanan masing-masing.

Sesampai di Pangcalikan, Situs Ciungwanara, prosesi Ngikis dimulai dengan pembacaan sejarah Galuh. Perwakilan adat, masyarakat, dan pejabat secara bergantian melakukan simbolis pengecatan pagar. Selanjutnya, prosesi diakhiri dengan makan tumpeng bersama.

“Sekali pun harus berebutan dengan kera yang sesekali menghampiri makanan, suasanya saat unik dan ini mengesankan,” ujar Rani (26), seorang warga Karangkamluyan, Cijeungjing yang mengikuti tradisi Ngikis.

Bupati Ciamis, Iing Syam Arifien, mengulas, tradisi Ngikis sudah berlangsung turun-temurun. Ngikis merupakan simbol memperbaiki pagar di kawasan Pangcalikan.

“Dulu pagar di Pangcalikan terbuat dari bambu, setiap tahun diganti yang bambunya diambil dari seberang sungai di Patimuan. Sekarang pagar sudah permanen, sehingga simbolis dilakukan dengan pengecatan. Intinya sama memelihara dan memperbaiki pagar,” .

Lebih dalam lagi, sambung dia, arti Ngikis yakni memagari diri dari hal-hal negatif serta mempersiapkan fisik maupun mental menghadapi Ramadan. “Tradisi ini sangat bagus, sehingga perlu dipertahankan dan harus dikenalkan kepada anak-anak generasi penerus kita mendatang,” .