Kamis, 12 November 2015

Dinamika Membangun Desa : Berkarya Nyata dan Bekerja Membangun Desa

Sumber: Hyuna Azamta Asyifa/kompas.com

 Era pemerintahan reformasi dikenal dengan paradigma barunya mengharapkan negara ini berkembang dan melakukan pembaruan di segala bidang sehingga tercipta Indonesia Baru. Indonesia Baru adalah Indonesia yang harus menjalani perubahan menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Tanpa adanya perubahan, maka kemajuan yang diharapkan tidak akan bisa tercapai. Perubahan dalam konteks ini bukanlah perubahan secara asal-asalan, akan tetapi perubahan terencana dan sistemik yang dilakukan secara sadar (conscious), terutama perubahan paradigma sesuai tuntutan reformasi di dalam melaksanakan pembangunan politik dan ekonomi dilandasi perundangan yang secara sah berlaku. 

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 56 Tahun 2015 tentang Kode dan Data Wilayah Admistrasi Pemerintahan (http://www.kemendagri.go.id/pages/data-wilayah), disebutkan bahwa di Indonesia ada 34 provinsi, 514 kabupaten/kota yang terdiri 420 kabupaten dan 94 kota. Dari jumlah tersebut terinci menjadi 72.944 wilayah administrasi desa dan 8.309 wilayah administrasi kelurahan. Melihat sepintas paparan data di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar wilayah Indonesia merupakan daerah yang dapat dikategorikan perdesaan dan tersebar di berbagai penjuru tanah air. Sementara hasil proyeksi penduduk menunjukkan bahwa penduduk Indonesia Juni 2014 berjumlah 252.164,8 ribu orang (Berita Resmi BPS 2015).   

Disebutkan pula, Piramida Penduduk Indonesia pada tahun 2014 termasuk tipe expansive, di mana sebagian besar penduduk berada pada kelompok umur muda. Pada Agustus 2014, jumlah penganggur sebesar 7,2 juta orang dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 5,94 persen. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 sebanyak 28,28 juta orang (11,25 persen), berkurang 0,32 juta orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2013 yang sebesar 28,60 juta orang (11,46 persen). Dari deskripsi tersebut tidak keliru bilamana titik berat upaya pemberdayaan tertuju ke wilayah perdesaan sehingga fokus pembangunan dalam rangka memajukan desa menjadi salah satu pilihan. Ini sejalan dengan salah satu visi pemerintahan dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yaitu ‘Membangun Indonesia dari Pinggiran dalam kerangka NKRI’. Sebagai konsekuensinya, perlu dialokasikan dana yang lebih besar untuk memperkuat pembangunan daerah dan desa pada APBN-P 2015. Berkait persoalan tersebut dan seiring telah disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), maka di satu sisi telah membawa angin segar bagi masyarakat dan perangkat desa di seluruh Indonesia. Desa tidak lagi menjadi objek melainkan menjadi subjek pembangunan. Sebagai subjek pembangunan, selanjutnya desa memiliki peranan yang cukup besar untuk mengelola perencanaan pembangunan, aset desa, dan pembentukan Badan Usaha Milik (BUM) Desa. Anggaran yang dikucurkan secara bertahap ke desa-desa bisa berkisar/mencapai Rp 1 miliar lebih, tentunya berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, kondisi geografis, dan tingkat kemiskinan. 

Disebutkan dalam UU tersebut bahwa tugas kepala desa tidak lagi hanya menyelenggarakan pemerintahan, tetapi juga melakukan fungsi pembangunan, pembinaan masyarakat, dan pemberdayaan masyarakat. Pada bagian lain, lahirnya kebijakan baru ini (UU Desa) perlu juga dilihat dari aspek lain, terutama kesiapan aparatur di tingkat desa (yang merupakan bagian dari lingkup kabupaten) sehingga dalam implementasinya perlu difasilitasi oleh pemerintah daerah/Pemerintah Kabupaten yang menaunginya, bisa juga dari pihak terkait dalam rangka pembimbingan, pendampingan dan konsultasi. Mulai dari sosialisasi, pemahaman hingga penerapannya jangan sampai melenceng dari maksud dan tujuan maupun hakikat UU Desa sehingga masyarakat di wilayah perdesaan menjadi makmur, sejahtera, lebih berdaya dan bermartabat. Berkarya Nyata dan Membangun Desa Titik berat pembangunan yang diarahkan ke daerah sudah tentu hal ini menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh para penyelenggara pemerintahan di masing-masing daerah. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi, setiap pemerintah daerah dituntut untuk bisa serta mampu mengimplementasikan perundangan yang berlaku. 

Disamping itu juga dituntut untuk mampu mengidentifikasi karakteristik dan spesifikasi daerah yang berada di wilayah kerjanya. Tiada lain hanyalah kontribusi atau berkarya nyata dalam membangun daerah merupakan tema yang perlu diusung dalam pelaksanaan pembangunan yang didukung oleh kemampuan sumber daya manusia dan sumber daya alam untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama (Rencana Pembangunan Jangka Pendek, Mengah dan Panjang). Seperti telah diketahui bahwa indikator umum pembangunan yaitu menuju kehidupan yang lebih baik (better life, atau better conditions). Kata kunci untuk menuju kehidupan lebih baik adalah perubahan dengan esensi bahwa upaya perubahan yang sadar ditempuh melibatkan semua pihak secara terpadu, berkarya nyata dan bersama-sama bekerja untuk merencana dan melaksanakan pembangunan sesuai tujuan (kemajuan) yang hendak dicapai. 

Demikian halnya dalam upaya membangun desa, sebelum melangkah lebih jauh maka perlu terlebih dahulu dilakukan identifikasi dan dirumuskan permasalahan masing-masing desa untuk kemudian disusun strategi pembangunan desa yang memadai, menyesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Pentingnya identifikasi karakteristik dan spesifikasi masing-masing desa sekaligus menyadarkan kita bahwa upaya untuk membangun desa tidaklah bisa dilakukan secara asal-asalan atau sembarangan. Lebih dari itu, hal-hal yang perlu diperhatikan diantaranya menyangkut: (1) potensi desa, (2) apa yang akan dicapai untuk kepentingan desa, (3) keadaan lingkungan alam serta manusianya, dan waktu yang ditentukan untuk melaksanakan pembangunan desa, (4) tenaga pelaksana dengan pengetahuan memadai sebagai penunjang kelancaran kerja. Atas dasar pertimbangan aspek-aspek di atas (mengingat kondisi desa berbeda), kemudian akan banyak membantu dalam pelaksanaan pembangunan desa itu sendiri, terutama dalam proses penentuan skala prioritas di masing-masing desa. Pendekatan bottom-up semacam ini tentunya telah sejalan dengan paradigma pembangunan politik dan ekonomi, semangat reformasi serta otonomi daerah. Perlu ditambahkan, pembangunan sebagai proses perubahan yang multidimensional, mengandung pengertian bahwa di dalamnya tercakup nilai-nilai hakiki yang tidak boleh diabaikan. 

Nilai-nilai hakiki tersebut antara lain: peningkatan produksi dan distribusi yang baik, menjunjunjung harga diri manusia, dan kebebasan dari ketergantungan. Berdasarkan nilai-nilai hakiki itulah dapat diharapkan implementasi kebijakan untuk membangun daerah, terutama membangun seluruh wilayah perdesaan yang berdaulat, mandiri, dinamis, dan berjati diri. Berdaulat: Hakikat dari kemerdekaan politik dan ekonomi. Paradigma bottom-up dalam pendekatan pembangunan di segala bidang sesuai jiwa dan semangat Pancasila dan UUD 1945. Mandiri: Mengoptimalkan kepemilikan sumber daya manusia dan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Menumbuhkan kepercayaan rakyat kepada birokrasi sebagai pelayan sehingga mampu meningkatkan kewibawaan pemerintah daerah. Mengembangkan potensi daerah/desa sehingga dapat menyejahterakan warga/rakyatnya. Dinamis: Membangun daerah/desa secara sadar dan terencana, melakukan perubahan dan pembaruan di segala bidang dengan skala prioritas, dan mampu menjalin kerjasama/kemitraan dengan stakeholder maupun daerah lain. Berjati diri: Dalam melangsungkan segala aktivitas berkait dengan pembangunan menuju kehidupan yang lebih baik, dilakukan secara demokratis/berdaulat, memanfaatkan potensi yang ada, menjalin kerjasama/kemitraan dengan pihak luar, tanpa kehilangan harga diri dan menjunjung nilai-nilai kebudayaan daerah yang berkearifan lokal.

(SHS)   Referensi: Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa http://www.kemendagri.go.id/pages/data-wilayah http://www.academia.edu/11386648/Berita_Resmi_BPS_2015

Sumber : http://www.kompasiana.com/suhar01/berkarya-nyata-dan-bekerja-membangun-desa_55e9545d8e7e61ca07b31707

Rabu, 11 November 2015

Membangun Masyarakat Pedesaan Berbasis Ekonomi Kreatif

Oleh: Arya Hadi Dharmawan


Pertama yang perlu dikenali adalah: apa itu jenis binatang-berspesies ‘pembangunan masyarakat desa yang berbasiskan kreativitas atau ekonomi kreatif’ itu sebenarnya?
Pembangunan pedesaan memasuki ruang perspektif baru, yang tak lazim seperti biasanya melalui industrialisasi pertanian atau peningkatan produksi pangan. Mazhab pembangunan desa berbasikan penegembangan wilayah serta mazhab-mazhab pembangunan berbasiskan pertumbuhan ekonomi, sekalipun masih tetap relevan untuk dijlankan, tetapi perlu didampingi oleh “jalan baru” dalam pengembangannya. Sekalipun demikian, semuanya tetap dalam kerangka besar tradisi pemikiran teknokratisme-pembangunanisme. Jadi, tentang “jalan baru” ini, jangan dulu dipatahkan dengan kritik. Pendekatan pembangunan pedesaan yang berbasis pada ekonomi dan sosial kreatif ini pastilah sarat kecaman dan kritik tajam. Sekalipun demikian, sebagai wacana, perlu juga dipahami bagaimana kekuatannya untuk menggerakkan perekonomian desa.
Adalah slogan baru tentang “local identity (local branding) within global homogeinity” yang arusnya mulai menguat di tahun 1990an dihembuskan untuk mendorong desa-desa bertumbuh secara liberal (memang ini mazhab liberalisme – very sad) yang mendorong arus ini. Pada intinya, slogan “janganlah bersaing pada ceruk pasar yang sudah jenuh, lakukan penggalian kekhasan karena dengan kekhasan itu tak akan ada pesaing yang mengunggulimu, setidaknya untuk sementara waktu”.
Demikianlah, pengembangan ekonomi khas (peculiar-economy) berkembang dn dikembangkan di desa-desa di Indonesia. Tersebutlah desa bordir di Tasikmalaya Jabar. Desa kain songket Pandai Sikek di Bukittinggi Sumbar. Desa tenun di Wajo Sulsel. Desa tenun ikat di Desa Sade atau Desa Sukarare NTB. Desa ukiran kayu di Jepara Jateng. Desa tembikar di Kasongan DIY. Desa sambal di Cibiuk Garut Jabar. Kawasan batik di Yogya dan Solo…dan banyak lagi. Ekonomi kreatif pedesaan (sekaligus ekonomi wilayah pun demikian) bertumbuh dan tak pelak menyeret pada pertambahan kapasitas ekonomi masyarakat desa melalui “nilai jual ekonomi kreativitas” yang dihasilkan dan direspons oleh publik konsumen. Kesejahteraan ekonomi material penduduk desa meningkat.
Demikianlah ide tentang bekerjanya “socio-economic creative rural society or rural community” dikembangkan untuk “menyeret” pertumbuhan ekonomi dan perkembangan wilayah pedesaan di seantero negeri. Sebenarnya, tak ada yag baru pada materi yang dijual oleh orang-orang di desa-desa itu, Tetapi, secara sosio-psikologis produk-material itu berhasil dibungkus dengan “imajinasi baru”. Konsumen terpikat oleh barang yang sama tetapi dalam bungkus “pesan kreatif-imajinatif” yang baru. Bayangkan, apa yang baru dengan tembikar? Tetapi, ketika dimuati dengan nilai artistik yang berbeda, sebuah tembikar serta merta mempunyai nilai tambah ekonomi yang berlebih. Apa istimewanya secobek sambal terasi? Tetapi ketika disajikan dengan cara berbeda, serta-merta sambal ini dicari orang.
Ciri-ciri sistem ekonomi pedesaan yang berbasis pada kreativitas/olah-kreatif:
(1) olah-imajinasi dan muatan seni yang tinggi;
(2) diproduksi secara lokalistik;
(3) tidak menganut prinsip mass-production layaknya produk-produk yang dijual di supermarket;
(4) ada semangat sebagai “counter-knowledge” untuk melawan kekuatan hegemonik dari ekonomi neoliberalisme global dalam memproduksinya. Karenanya, produk ini hanya bisa didapat dengan cara mendatangi lokasinya. Ketika produk ini diproduksi massal, maka publik justru akan berpaling darinya;
(5) barang kreatif itu bentuknya bisa musik, kuliner/produk pangan, pakaian, tontonan, pernah-pernik kerajinan tangan;
(6) skala usahanya biasanya UKM – usaha kecil menengah tetapi tidak selamanya kecil. Bisa juga melibatkan dana investasi milyaran rupiah. Pertanyaan Kedua: ‘Bagaimana membangun masyarakat desa yang (berbasis-ekonomi) kreatif’ untuk memberikan kekuatan local-branding in the global environment?

Sejarah mengajarkan beberapa path of development yang bisa ditelusur dalam mengantarkan ide kretif menjadi ekonomi spesifik di desa-desa di Indonesia.Terdapat beberapa “peta jalan” untuk membangun ekonomi kreatif, yaitu:
1. State-driven Creativity – pusat kekuasaan adalah sumber pembentukan kreativitas. Berkembangnya batik di Yogya dan Solo, tak bisa dihindarkan dipengaruhi oleh pengaruh kuasa pemerintahan kerajaan di masa lalu.
2. Religiousity-driven Creativity – agama adalah sumber pertumbuhan kreativitas. Tarian-tarian yang dikembangkan oleh masyarakat Bali punya akar pada religous-worship (praktek keagamaan) agama Hindu. Juga alat musik tradisional bonang yang kini berkembang di masyarakat pesisir Jawa Utara, dan bermetamorfosis menjadi seni klenengan dan sejenisnya, dulu dikembangkan oleh Sunan Bonang dalam rangka penyebaran agama Islam, masa Wali Songo.
3. Market-driven Creativity – adalah pasar yang mendorongnya. Tak pelak, ini adalah bagian paling prgmatis sebagai konsekuensi seretan dari ekonomi kpitalisme-materialisme global. (Sedikit cattan: beberapa aktivitas kreatif untuk relijiousitas khirnya terkomersialisasi atas nama pasar dan kehilangan ruh kesakralannya, ini sering disayangkan banyak orang. Tetapi uang memang tak kenal sakral dan agama).
4. Intellectual-agency driven Creativity – adalah “institusi pintar” yang mendorong berkembangnya kreativitas bernilai ekonomi, terutama padhepokan dan paguyuban seni kreatif.
5. Social-Movement-Rooted driven Creativity. Kreativitas yang tumbuh dari “gerakan sosial pemberontakan” seringkali menghasilkan nilai seni kreatif yang layak jual dimana-mana. Pernak-pernik merchandise gerkan lingkungan menjadi barang dagangan kretif. Foto-foto tokoh-politik “counter-establishment” sering menjadi barang dagangan yang berarti nilai jualnya.
Demikianlah, seturut mazhab pembangunan creativism as an engine of growth, maka desa tak harus berkembang dan dikembangkan dengan cara konvensional (produksi dan industrialisasi pertanian, pertambangan, perdagangan, industri, jasa – sekalipun cara konvensional tetaplah harus dipertahankan). Melainkan dengan cara berbeda, yaitu mengandalkan “olah pikir dan olah-budi”. Cara “creative-mainstream” ini berkembang sebagai ikhtiar mencari jalan lain dari jalur pembangunan pedesaan yang tak-konvensional (sama-sama growth-ism tetapi berbeda jalan). Bahwa jalur baru ini menuai banyak kritik. Jawbannya: ya dan pasti. Bahwa jalur ini akan mengundang cibiran karena komersialisasinya mampu merunyak segala yang ada dihadapannya, jawabannya ya dan pasti.
Sebagai ikhtiar, bolehlah jalan ini dilirik dan dikembangkan dalam rangka meniti apa yang kemudian kelak dikenal sebagaiekonomi lokal dan heterodox economy. Kepada Presiden RI 2014 yang hendak berangkat maju ke “medan laga seseungguhnya dalam membenahi Indonesia”. Ruang pembangunan pedesaan nan unik ini bisa menjadi bahan renungan perjuangan kedaulatan ekonomi lokal yang sedang digembar-gemborkan. Bahkan Pemerintah saat inipun sebenarnya sudah menginisiasi terbentunyacreative rural society sebagai bentuk-harapan dari masyarakat desa di masa depan. Kekhawatiran yang muncul adalah: masuknya pasar ke dalam ruang kreativitas, akan cenderung membentuk atau mendorong “komersialisasi kreativitas”, sehingga kreativitas berbasis relijiousitas atau yang didorong oleh produk intelektual pun berpotensi dikomersialisasikan dan diprofanisasi (dikotori)…sehingga mendekonstruksi makna-makna kesakralan sebuah kreativitas (fenomena ini telah terjadi di Bali dengan tari-tarian sakralnya yang semakin hari semakin dikomersialisasikan demi uang dan menjadi kritik sosial yang meluas).
Pertanyaan berikutnya: bila sebuah desa hendak menonjol dan menjadi pusat perhatian, dimana pertanian dan sektor lain (seringkali) tak bisa diharapkan berkompetisi lagi (karena konsekuensi jebakan neoliberalisme ekonomi yang diikuti Indonesia), maka jalur pembangunan ekonomi-kreatif ini bisa ditempuh sebagai solusi alternatif. Namun, kita harus sudah siap dengan segala kosekuensi ‘buruk” yang menjadi implikasi di depannya, misalnya persaingan antar warga kreatif menjadi tajam karena niscaya, ketika hasil kreatif menghasilkan pasar, maka ia harus dilawan dengan produk kreatif yang lebih innovatif. Warga desa menjadi lebih kompetitif dan tidak bisa lagi kolektif-guyub. Siapkah kita?

Sumber : http://inspirasibangsa.com/membangun-masyarakat-pedesaan-berbasis-ekonomi-kreatif/