Oleh: Arya Hadi Dharmawan
Pertama yang perlu dikenali adalah: apa itu jenis binatang-berspesies ‘pembangunan masyarakat desa yang berbasiskan kreativitas atau ekonomi kreatif’ itu sebenarnya?
Pembangunan pedesaan memasuki ruang perspektif baru, yang tak lazim seperti biasanya melalui industrialisasi pertanian atau peningkatan produksi pangan. Mazhab pembangunan desa berbasikan penegembangan wilayah serta mazhab-mazhab pembangunan berbasiskan pertumbuhan ekonomi, sekalipun masih tetap relevan untuk dijlankan, tetapi perlu didampingi oleh “jalan baru” dalam pengembangannya. Sekalipun demikian, semuanya tetap dalam kerangka besar tradisi pemikiran teknokratisme-pembangunanisme. Jadi, tentang “jalan baru” ini, jangan dulu dipatahkan dengan kritik. Pendekatan pembangunan pedesaan yang berbasis pada ekonomi dan sosial kreatif ini pastilah sarat kecaman dan kritik tajam. Sekalipun demikian, sebagai wacana, perlu juga dipahami bagaimana kekuatannya untuk menggerakkan perekonomian desa.
Adalah slogan baru tentang “local identity (local branding) within global homogeinity” yang arusnya mulai menguat di tahun 1990an dihembuskan untuk mendorong desa-desa bertumbuh secara liberal (memang ini mazhab liberalisme – very sad) yang mendorong arus ini. Pada intinya, slogan “janganlah bersaing pada ceruk pasar yang sudah jenuh, lakukan penggalian kekhasan karena dengan kekhasan itu tak akan ada pesaing yang mengunggulimu, setidaknya untuk sementara waktu”.
Demikianlah, pengembangan ekonomi khas (peculiar-economy) berkembang dn dikembangkan di desa-desa di Indonesia. Tersebutlah desa bordir di Tasikmalaya Jabar. Desa kain songket Pandai Sikek di Bukittinggi Sumbar. Desa tenun di Wajo Sulsel. Desa tenun ikat di Desa Sade atau Desa Sukarare NTB. Desa ukiran kayu di Jepara Jateng. Desa tembikar di Kasongan DIY. Desa sambal di Cibiuk Garut Jabar. Kawasan batik di Yogya dan Solo…dan banyak lagi. Ekonomi kreatif pedesaan (sekaligus ekonomi wilayah pun demikian) bertumbuh dan tak pelak menyeret pada pertambahan kapasitas ekonomi masyarakat desa melalui “nilai jual ekonomi kreativitas” yang dihasilkan dan direspons oleh publik konsumen. Kesejahteraan ekonomi material penduduk desa meningkat.
Demikianlah ide tentang bekerjanya “socio-economic creative rural society or rural community” dikembangkan untuk “menyeret” pertumbuhan ekonomi dan perkembangan wilayah pedesaan di seantero negeri. Sebenarnya, tak ada yag baru pada materi yang dijual oleh orang-orang di desa-desa itu, Tetapi, secara sosio-psikologis produk-material itu berhasil dibungkus dengan “imajinasi baru”. Konsumen terpikat oleh barang yang sama tetapi dalam bungkus “pesan kreatif-imajinatif” yang baru. Bayangkan, apa yang baru dengan tembikar? Tetapi, ketika dimuati dengan nilai artistik yang berbeda, sebuah tembikar serta merta mempunyai nilai tambah ekonomi yang berlebih. Apa istimewanya secobek sambal terasi? Tetapi ketika disajikan dengan cara berbeda, serta-merta sambal ini dicari orang.
Ciri-ciri sistem ekonomi pedesaan yang berbasis pada kreativitas/olah-kreatif:
(1) olah-imajinasi dan muatan seni yang tinggi;
(2) diproduksi secara lokalistik;
(3) tidak menganut prinsip mass-production layaknya produk-produk yang dijual di supermarket;
(4) ada semangat sebagai “counter-knowledge” untuk melawan kekuatan hegemonik dari ekonomi neoliberalisme global dalam memproduksinya. Karenanya, produk ini hanya bisa didapat dengan cara mendatangi lokasinya. Ketika produk ini diproduksi massal, maka publik justru akan berpaling darinya;
(5) barang kreatif itu bentuknya bisa musik, kuliner/produk pangan, pakaian, tontonan, pernah-pernik kerajinan tangan;
(6) skala usahanya biasanya UKM – usaha kecil menengah tetapi tidak selamanya kecil. Bisa juga melibatkan dana investasi milyaran rupiah. Pertanyaan Kedua: ‘Bagaimana membangun masyarakat desa yang (berbasis-ekonomi) kreatif’ untuk memberikan kekuatan local-branding in the global environment?
Sejarah mengajarkan beberapa path of development yang bisa ditelusur dalam mengantarkan ide kretif menjadi ekonomi spesifik di desa-desa di Indonesia.Terdapat beberapa “peta jalan” untuk membangun ekonomi kreatif, yaitu:
1. State-driven Creativity – pusat kekuasaan adalah sumber pembentukan kreativitas. Berkembangnya batik di Yogya dan Solo, tak bisa dihindarkan dipengaruhi oleh pengaruh kuasa pemerintahan kerajaan di masa lalu.
2. Religiousity-driven Creativity – agama adalah sumber pertumbuhan kreativitas. Tarian-tarian yang dikembangkan oleh masyarakat Bali punya akar pada religous-worship (praktek keagamaan) agama Hindu. Juga alat musik tradisional bonang yang kini berkembang di masyarakat pesisir Jawa Utara, dan bermetamorfosis menjadi seni klenengan dan sejenisnya, dulu dikembangkan oleh Sunan Bonang dalam rangka penyebaran agama Islam, masa Wali Songo.
3. Market-driven Creativity – adalah pasar yang mendorongnya. Tak pelak, ini adalah bagian paling prgmatis sebagai konsekuensi seretan dari ekonomi kpitalisme-materialisme global. (Sedikit cattan: beberapa aktivitas kreatif untuk relijiousitas khirnya terkomersialisasi atas nama pasar dan kehilangan ruh kesakralannya, ini sering disayangkan banyak orang. Tetapi uang memang tak kenal sakral dan agama).
4. Intellectual-agency driven Creativity – adalah “institusi pintar” yang mendorong berkembangnya kreativitas bernilai ekonomi, terutama padhepokan dan paguyuban seni kreatif.
5. Social-Movement-Rooted driven Creativity. Kreativitas yang tumbuh dari “gerakan sosial pemberontakan” seringkali menghasilkan nilai seni kreatif yang layak jual dimana-mana. Pernak-pernik merchandise gerkan lingkungan menjadi barang dagangan kretif. Foto-foto tokoh-politik “counter-establishment” sering menjadi barang dagangan yang berarti nilai jualnya.
Demikianlah, seturut mazhab pembangunan creativism as an engine of growth, maka desa tak harus berkembang dan dikembangkan dengan cara konvensional (produksi dan industrialisasi pertanian, pertambangan, perdagangan, industri, jasa – sekalipun cara konvensional tetaplah harus dipertahankan). Melainkan dengan cara berbeda, yaitu mengandalkan “olah pikir dan olah-budi”. Cara “creative-mainstream” ini berkembang sebagai ikhtiar mencari jalan lain dari jalur pembangunan pedesaan yang tak-konvensional (sama-sama growth-ism tetapi berbeda jalan). Bahwa jalur baru ini menuai banyak kritik. Jawbannya: ya dan pasti. Bahwa jalur ini akan mengundang cibiran karena komersialisasinya mampu merunyak segala yang ada dihadapannya, jawabannya ya dan pasti.
Sebagai ikhtiar, bolehlah jalan ini dilirik dan dikembangkan dalam rangka meniti apa yang kemudian kelak dikenal sebagaiekonomi lokal dan heterodox economy. Kepada Presiden RI 2014 yang hendak berangkat maju ke “medan laga seseungguhnya dalam membenahi Indonesia”. Ruang pembangunan pedesaan nan unik ini bisa menjadi bahan renungan perjuangan kedaulatan ekonomi lokal yang sedang digembar-gemborkan. Bahkan Pemerintah saat inipun sebenarnya sudah menginisiasi terbentunyacreative rural society sebagai bentuk-harapan dari masyarakat desa di masa depan. Kekhawatiran yang muncul adalah: masuknya pasar ke dalam ruang kreativitas, akan cenderung membentuk atau mendorong “komersialisasi kreativitas”, sehingga kreativitas berbasis relijiousitas atau yang didorong oleh produk intelektual pun berpotensi dikomersialisasikan dan diprofanisasi (dikotori)…sehingga mendekonstruksi makna-makna kesakralan sebuah kreativitas (fenomena ini telah terjadi di Bali dengan tari-tarian sakralnya yang semakin hari semakin dikomersialisasikan demi uang dan menjadi kritik sosial yang meluas).
Pertanyaan berikutnya: bila sebuah desa hendak menonjol dan menjadi pusat perhatian, dimana pertanian dan sektor lain (seringkali) tak bisa diharapkan berkompetisi lagi (karena konsekuensi jebakan neoliberalisme ekonomi yang diikuti Indonesia), maka jalur pembangunan ekonomi-kreatif ini bisa ditempuh sebagai solusi alternatif. Namun, kita harus sudah siap dengan segala kosekuensi ‘buruk” yang menjadi implikasi di depannya, misalnya persaingan antar warga kreatif menjadi tajam karena niscaya, ketika hasil kreatif menghasilkan pasar, maka ia harus dilawan dengan produk kreatif yang lebih innovatif. Warga desa menjadi lebih kompetitif dan tidak bisa lagi kolektif-guyub. Siapkah kita?
Sumber : http://inspirasibangsa.com/membangun-masyarakat-pedesaan-berbasis-ekonomi-kreatif/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar